PULAU Selayar yang bentuknya memanjang dengan orientasinya utara-selatan, terletak di sebelah selatan Semenanjung Bira di Pulau Sulawesi, dipisahkan oleh Selat Bira selebar +- 7.5 km. Posisi tersebut telah menempatkan Selayar sebagai kabupaten paling selatan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada masa Selayar menjadi daerah kekuasaan Gowa (awal abad ke-17) daerah ini merupakan jalur perdagangan yang melawan pelabuhan Tuban, Gresik, Surabaya, India, dan Asia Selatan. Sejak perjanjian Bongaya tahun 1667 antara Gowa dan Belanda, Selayar menjadi daerah kekuasaan Belanda (VOC). Perjanjian ini dilatari oleh maksud Belanda untuk mengambil alih monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia bagian timur; menguasai jalur perdagangan keramik melalui Philipina, kepulauan Nusantara, Afrika Timur, Timur Tengah; dan sekaligus Eropa. Dapat dikatakan bahwa sejak dikuasai Belanda, peranan Selayar menjadi semakin penting.
Sumber-sumber tertulis mengenai Selayar masih sangat sedikit ditemukan, namun dalam Negarakrtagama pupuh XIV disebutkan bahwa pada abad ke-13 Selayar merupakan salah satu wilayah kekuasaan Majapahit dan bahkan telah ikut dalam percaturan sejarah. Hal ini membuktikan bahwa sejak saat itu Selayar telah mempunyai hubungan dengan daerah luar. Mungkin hubungan itu telah ada sejak masa prasejarah, khususnya dengan Asia. Dugaan ini didasarkan atas temuan nekara perunggu yang kemungkinan berasal dari Indocina.

Nekara Selayar terbuat dari logam perunggu yang saat ini tersimpan di daerah Bonto Bangun (Matalalang). Nekara ini merupakan nekara yang besar dan indah dengan ukuran tinggi 92 cm dan garis tengah bidang pukul berukuran 126 cm. Seluruh permukaan bidang pukul dihiasi dengan pola hias geometris. Di bagian tengah dihiasi dengan pola hias bintang bersudut 16 dan di tepinya terdapat hiasan berbentuk 4 ekor katak, yang masing-masing panjangnya 20 cm dengan badan bergaris-garis dan mata tersembul ke atas, juga hiasan burung merak sedang berdiri ataupun sedang berjalan. Hiasan lainnya adalah bentuk perahu yang sarat dengan pola hias bulu burung. Di bawah perahu terdapat ikan yang sedang berenang. Pada bagian pinggang yang berbentuk silinder terdapat panei-panei yang dihiasi dengan pola hias geometris dalam posisi vertikal, sedang ruang yang terletak di antara dua buah panel penuh dengan pola hias bulu burung dengan posisi vertikal. Pada bagian kaki dijumpai ragam hias yang menarik, dan merupakan pola hias yang sangat spesifik dari nekara Selayar. Hiasan itu terdiri dari motif gajah, pohon kelapa, burung bangau, serta burung-burung kecil yang sedang hinggap di cabang-cabang pohon yang tak berdaun. Pada nekara ini juga terdapat empat pasang telinga atau pegangan, menempel dari bagian bahu ke pinggang serta dihiasi dengan motif tali.
Menurut informasi lisan dari tetua adat dan penduduk setempat, nekara tersebut ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang penduduk dari Kampung Rea-Rea yang bernama Sabuna pada tahun 1686. Pada saat itu Sabuna sedang mengerjakan sawah Raja Puta Bangung di Papaniohea, tiba-tiba cangkul Sabuna membentur benda keras yang ternyata adalah hiasan katak yang merupakan bagian dari sebuah nekara. Sejak berakhirnya Dinasti Puta Bangung, pada tahun 1760 nekara tersebut dipindahkan ke Bonto Bangung dan menjadi kalompoang/arajang (benda keramat) Kerajaan Bonto Bangung.

Menurut Harun Kadir (1989), legenda mengenai nekara Selayar dikenal dari dua sumber, yang pertama cerita mitos Sawerigading yang berkembang pada periode Galigo, yaitu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia, dengan pola kepemimpinan religius kharismatis. Sawerigading ditempatkan sebagai tokoh utama dalam perwujudan tata tertib dan penataan pertama masyarakat Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10. Tetapi Christian Pelras menempatkan pada sekitar abad ke-12.
Sumber yang kedua adalah naskah Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (abad 17). Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan demikian Selayar menjadi bandar transito bagi lalu lintas pelayaran. Di dalam naskah itu juga disebut tentang “daftar sewa bagi orang yang berlayar dari daerah Makasar ke Aceh, Kedah, Kamboja dengan sewa 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila naik dari tempat tersebut pergi ke Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus (orang).”
Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Selayar dengan daerah-daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa nekara Selayar mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan Cina berkembang di kawasan itu. Menurut legenda yang berkait dengan nekara Selayar, dikatakan bahwa ketika Sawerigading bersama isterinya (We Cuddai) dan ketiga putranya (La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo) kembali dari Cina, dalam perjalanannya menuju ke Luwu mereka singgah di Pulau Selayar, dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut Puta Bangung dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja pertama di Puta Bangung, dan menempatkan nekara itu sebagai Kalompoang di Kerajaan Puta Bangung.
Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa nekara Selayar dibawa dari Cina oleh Sawerigading. Yang dimaksud dengan Cina disini, mungkin adalah Indo China. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya ada dua nekara (Gong), yaitu sebuah di Selayar dan sebuah lagi berada di Cina. Nekara yang ada di Selayar dianggap sebagai suami dan yang ada di Cina sebagai isteri. Hal ini mengingatkan kita pada nekara yang dipuja berpasangan di daerah Birma yang dipersonifikasikan sebagai pasangan suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi melambangkan pria, sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil dan rendah melambangkan wanita. Dengan demikian nampak adanya persamaan nilai simbolis dari pendukung kebudayaan perunggu khususnya nekara di Indonesia dan Asia Tenggara.

Dari hasil penelitian, nekara biasanya dihubungkan dengan upacara-upacara yang bersifat religius. Nekara berukuran besar seperti yang ditemukan di Selayar oleh para ahli dikatakan sebagai sarana pemanggilan hujan. Bukan tidak mungkin bahwa nekara tersebut mempunyai fungsi yang lain seperti upacara-upacara perang, upacara penobatan seorang pemimpin masyarakat, upacara mengusir wabah penyakit dan lain-lain.
Harun Kadir (1989), menyatakan bahwa fungsi nekara, selain sebagai alat upacara yang berkaitan dengan aktivitas ritual, juga merupakan lambang status sosial bagi pemiliknya. Di Cina Selatan nekara dapat berfungsi sebagai lambang kekuasaan, seperti halnya di Selayar. Karena menganggap nekara itu sebagai benda keramat (kelompoang/arajang), maka barang siapa yang menyimpan atau memiliki benda tersebut, dialah yang menjadi penguasa di negeri itu. Sampai saat ini masyarakat Bonto Bangung masih juga mempertahankan kehadiran nekara itu di daerahnya, sehingga usaha untuk memindahkan dari Bonto Bangung ke Museum Nekara Tana Doang di Kota Benteng Selayar, tetap diupayakan.

Fungsi nekara sebagai perangkat upacara pelantikan raja dilakukan melalui suatu prosesi. Raja yang dilantik dijunjung oleh masyarakat sambil mengelilingi nekara sebanyak dua belas kali. Sesajian diletakkan di nekara. Pada upacara lain, misalnya untuk memanggil hujan pada musim kemarau panjang dan tanaman sudah terancam kekeringan, maka diadakan upacara meminta hujan dengan memukul nekara. Pemukulan nekara dilakukan oleh raja. Dengan demikian terlihat betapa pentingnya nekara sebagai perangkat upacara yang sangat menentukan tercapainya suatu tujuan upacara. Upacara yang sama juga dilakukan pada beberapa suku bangsa di daratan Asia Tenggara, terutama pada masyarakat agraris.
Keberadaan nekara Selayar seperti halnya dengan nekara yang ditemukan di tempat lain, merupakan jaringan mata rantai dari kebudayaan Dongson yang terbentang dari Vietnam Utara sampai ke Indonesia bagian Timur. Karena itu budaya perunggu di Indonesia selama ini selalu dikaitkan dengan budaya Dongson. Namun tidak diingkari munculnya ciri-ciri lokal yang merupakan tipe khusus Indonesia, seperti nekara Pejeng di Bali.